Seven: Cindewhorella

[GG] Choi Soo Young & [SJ] Cho Kyu Hyun

Genre: Drama, Romance, Family-AU! | Rating: Teenager, General | Length: 2,6k.

presented by Summerie.

.

.

Dedicated to Amel Ryriis.

ENAM. Cindewhorella merampas topeng gadis lainnya, berharap Prince Charming merenungnya.

---

“Jadi kau juga berniat untuk mengejar Kyuhyun?”

Pertanyaan yang dilemparkan Soojin barusan mampu menghentikan langkah lebar Sooyoung menuju kamar mandi yang berada di depan kamarnya. Dengan handuk tersampir di pundak, ia berbalik dan memberikan senyumannya yang terbaik.

“Tidak, sebenarnya. Hanya saja, karena kau menyukainya sampai rela menurunkan harga dirimu sebegitu rendahnya, mengapa tidak?” Ia mengerling, sebelum menghilang ke dalam kamar mandi.

Selepas mandi dan berpakaian, Sooyoung memutuskan untuk duduk-duduk sebentar di kamarnya sebelum turun dan menonton TV—kegiatan normalnya di hari Minggu. Ponselnya entah di mana, dan sebenarnya, ia tidak terlalu peduli. Sooyoung menyalakan laptop-nya dan menunggunya aktif selama semenit, entahlah, tiba-tiba ia ingin melihat-lihat situs Hollow. Satu menit setelah login, terdengar suara ring tanda notifikasi masuk, dan segera saja atensinya terpusat pada satu hal: bosnya ternyata juga tengah duduk santai di suatu ruangan di apartemennya, memutuskan untuk mengunjungi website Hollow, lantas mengirim pesan padanya.

kyuhyunc: aku sangat tidak menghargai perbuatanmu merusak apa-yang-seharusnya-disebut kencan.

Oops. Sepertinya Mr. Cranky Pants yang lama telah kembali. Mendapati itu, Sooyoung merasa agak lega dan ringan. Seakan-akan beban berat baru saja ditarik kembali dari bahunya yang kurus. Paling tidak, ia bisa terbebas sebentar dari keseriusan pikirannya yang kadang-kadang menyeretnya mendekati masalah-masalah yang harusnya sudah ia tendang sedari dulu.

sooyc: sorry. Kukira kau menyuruhku memesannya untuk makan siang bersama denganmu.

Ha-ha. Alasan yang sangat bodoh dan tidak masuk akal. Ia tidak peduli akan itu, Sooyoung yakin bosnya sudah tahu alasan yang sebenarnya—bahkan tanpa ia atau Soojin harus membuka mulut. Laptop-nya berbunyi lagi.

kyuhyunc: mataku saja atau kau memang berharap bisa makan bersama denganku?

sooyc: aku tidak bilang begitu. Tapi keputusan berada di tanganmu sepenuhnya, Sir.

kyuhyunc: huruf terakhir di username kita membuatku tidak nyaman. Entahlah.

sooyc: maafkan saya sekali lagi, Sir. Mungkin kau harus memprotes ayahku karena memberiku marga yang nyaris sama denganmu.

kyuhyunc: kau sangat menyebalkan. Mengapa kau tidak bisa bersikap sedikit lebih mirip dengan kakakmu?

sooyc: apa itu berarti aku harus menjadi palsu sepertinya? Tidak, aku suka hal-hal yang asli. 🙂

Untuk beberapa detik, Sooyoung mengharapkan balasan—apapun—dari Kyuhyun. Namun, sepertinya ia berharap terlalu banyak mengingat apa yang baru saja ia kirimkan. Hah, seandainya saja Kyuhyun tahu apa yang ada di balik wajah itu, Sooyoung tertawa dengan agak sinis. Baru saja Sooyoung berniat untuk mematikan laptop-nya, satu notifikasi masuk.

kyuhyunc: pergi ke apartemenku. Sekarang.

sooyc: apa? Apa asisten pribadi tidak mendapat hari libur sama sekali?

kyuhyunc: pergi saja.

Membaca pesan terakhirnya, Sooyoung nyaris bisa melihat Kyuhyun menghela napas dengan lelah, duduk bersandar di three-seat-nya. Mungkin saja Kyuhyun memang tengah melakukannya.

Meskipun malas dan tidak bersemangat, toh akhirnya Sooyoung bangkit ke walk-in-closet-nya dan berusaha mencari sesuatu yang layak dipresentasikan. Ia sedang tidak ingin berpakaian formal, lagi pula ini toh bukan kunjungan resmi. Mungkin Kyuhyun hanya ingin membahas satu-dua hal mengenai Hollow dengannya. Selepas itu, Sooyoung bisa saja pergi mengembara di Seoul—berjalan-jalan, berbelanja, apa saja. Kedengarannya menyenangkan.

Lima menit kemudian, ia sudah siap dengan rok denim pendek dan T-shirt. Ia tidak repot-repot menata rambutnya, peduli amat dengan hal itu. Sebelum keluar, Sooyoung menyempatkan dirinya untuk menyambar kunci mobil dan tas kecilnya, lantas bergegas menuruni tangga.

“Ada acara?” Pertanyaan ibunya mengambang di langit-langit.

Sooyoung menoleh, menghentikan langkahnya untuk menatap Soojin yang tengah duduk di meja makan dengan pakaian rumahannya—jelas sekali tidak ada kencan hari ini. Kakaknya itu tampak nelangsa dan kelelahan. Oh, peduli amat dengannya.

“Yep. Pertemuan penting dengan bosku,” ia menyahut, sengaja benar menekankan kata ‘penting’-nya untuk mencuri atensi Soojin, sekedar membuat kakaknya itu iri. “Aku akan membeli sarapan di perjalanan. Pergi dulu, Ma!” Ia melemparkan pandangannya ke arah Soojin sekali lagi—tambahkan ekspresi kesal di penampilan Soojin—sebelum melesat keluar.

–

Ada sesuatu pada diri asistennya, ia bisa menebak itu. Sesuatu apakah itu, ia tidak tahu. Dan ketidaktahuan itu terasa seperti asap yang mengambang di langit-langit, membuatnya kesulitan melihat dan bernapas. Kyuhyun enggan mengakui ini, namun tiba-tiba saja muncul keraguan pada diri Soojin. Anehnya, kepercayaan dirinya kepada asistennya bertambah tahap demi tahap, ke tingkat yang lebih tinggi.

Memikirkan ini, Kyuhyun agak ngeri. Seakan-akan kakak-beradik Choi adalah sosok Pim dan Ploy di film Thailand yang memiliki judul Alone yang pernah Kyuhyun tonton—murni karena paksaan teman-temannya. Film ini membuatnya ngeri setengah mati. Hal yang sama dengan Sooyoung dan Soojin.

“Aku tidak suka ini,” suara Sooyoung tiba-tiba saja menggema di penjuru dapurnya, membuat Kyuhyun melompat beberapa senti dari kursinya. Sejak kapan Sooyoung ada di sini? Mengapa Nadine tidak menginformasikan apa-apa? Biasanya suara elektrik dari interkomnya itu membuatnya kesal setengah mati karena berteriak terus-menerus. “Apa yang kau inginkan dariku? Apa aku seharusnya membawa sarapan untukmu?”

Kyuhyun menggeleng, memandangi raut kesal Sooyoung yang tengah sibuk merogoh tasnya, entah mencari apa. “Kau tidak perlu melakukannya, tenang saja.” Ujarnya sambil menunjuk kursi di seberangnya, mengisyaratkan Sooyoung untuk duduk. “Aku hanya ingin menanyakan sesuatu.”

Sooyoung mengirimkan sorot tidak terlalu setuju dengan sikap memerintah Kyuhyun, namun ia tetap mengikuti perintah, mendudukkan pantatnya di kursi di seberang Kyuhyun. “Apa ini semacam interviu prakerja atau..?” tanyanya.

“Bukan juga.” Kata Kyuhyun, yang dibalas dengan angkat-sebelah-alis oleh Sooyoung. “Aku hanya ingin kau menjawab ini dengan benar-benar jujur.”

Aneh. Sooyoung mengerutkan bibirnya, berusaha mencari tahu omong kosong apa lagi yang tengah dibicarakan bosnya. Tidak menemukan apapun, ia akhirnya mengangguk. Mungkin saja Kyuhyun telah menemukan cara liciknya untuk masuk ke dalam Hollow. Sooyoung buru-buru menyiapkan alasan yang tepat—kebohongan yang tepat—untuk mempertahankan posisinya di Hollow kalau-kalau Kyuhyun berniat untuk memecatnya.

“Ada masalah apa antara kau dan Choi Soojin?”

Oops. Ternyata cuma pertanyaan sok tahu khas bosnya. Sooyoung tersenyum miring—senyum yang menyebalkan, ia harap.

“Mengapa kau tidak menanyakan itu pada Soojin saja? Kalau kau sebegitu percayanya padanya,” Sooyoung menyahut, mengangkat bahunya untuk sepersekian detik sebelum menurunkannya kembali. “Aku yakin kau akan mendapat jawaban omong kosong yang tidak jelas.”

Tipikal Choi Sooyoung sekali, jawaban asistennya barusan. Setelah beberapa kali terlibat perang mulut dengan Sooyoung, hal ini tidak mengagetkannya lagi. Semuanya tidak pernah mudah jika melibatkan asistennya—kecuali tugas-tugasnya. Kalau yang itu, Sooyoung mengerjakannya dengan cukup baik dan tepat waktu.

“Kau sudah berjanji akan menjawabnya.”

Sooyoung mengubah posisi duduknya dengan tidak nyaman. Sialan, ia memang sudah berjanji untuk menjawabnya. Hanya saja, rasanya sulit… Tentu saja Sooyoung pernah berpikiran untuk membuka diri, namun ia tidak bisa. Ia harap ia bisa menuliskannya di mana saja—fakta-fakta masa lalunya—hanya supaya pikirannya terlepas dari hal mengerikan itu sebentar saja. Namun, tidak bisa, ia terlalu takut kalau-kalau seseorang membacanya, kalau seseorang menemukan faktanya.

Sayang sekali keputusannya sudah bulat. Dan Sooyoung yakin dirinya pun tidak akan sanggup menjelaskannya dengan kalimat runtun yang dapat seseorang pahami. Terlalu rumit. Terlalu berat.

Ia membuka mulut. “Aku pernah punya adik,” seiring ucapannya, air mata segera membuat jalannya menuju pipinya, namun Sooyoung menahannya sekuat tenaga. Tidak ada tanda kelemahan di sini lagi. Not anymore.

“Adik?” Kyuhyun mengerutkan keningnya tidak mengerti. Mengapa Sooyoung justru mengalihkan pembicaraan ke silsilah keluarganya? Well, mungkin saja adik Choi Sooyoung ini adalah aktris atau apalah itu. Tetap saja, ia tidak sanggup menangkap maksudnya.

“Ya. Adik. Empat tahun lebih muda daripada aku.” Sooyoung mengangkat alisnya, lalu menatap telapak tangannya yang terasa basah dan dingin. “Dia tidak akan pernah bisa bicara lagi.” Dengan itu, Sooyoung berdiri, mengagetkan Kyuhyun dengan suara kursi berderit. Lalu ia berbalik, menerjang keluar dari apartemen Kyuhyun yang entah mengapa berubah ukuran menjadi jauh lebih sempit.

Ruangan itu menghimpitnya, dan tangisan telah berada di kerongkongannya—Sooyoung tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Ia pergi.

–

Sesaat setelah tangisannya menghilang—bahkan sebelum berhasil keluar—ia merasa malu dengan dirinya sendiri. Amat malu. Kelemahan bukanlah hal yang senang ia tunjukkan, dan meskipun ia tidak tahu apakah Kyuhyun melihat matanya yang berkaca-kaca, Sooyoung tetap merasa bodoh dan lembek. Tidak seharusnya ia menunjukkan ekspresinya tadi, itu keahlian Soojin. Dan demi apapun, Sooyoung tidak pernah berkeinginan berubah menjadi Soojin.

Tidak akan pernah.

Sooyoung menghentikan langkahnya di belokan ketiga sejak keluar dari gedung apartemen Kyuhyun. Jalan raya mulai dipenuhi mobil-mobil berkecepatan tinggi dan kafe-kafe mulai sesak oleh pengunjung. Sooyoung melihat-lihat keadaan sekitar, mencari toko yang tidak terlalu ramai. Mood-nya berteriak-teriak, memintanya untuk tidak berinteraksi dengan siapapun dalam keadaan seperti ini, bukan hal yang sulit dengan tempatnya berada sekarang. Sooyoung tidak mengenal siapapun di sini—kecuali bosnya, sehingga kemungkinan berpapasan dengan seseorang yang ia kenal sangatlah kecil. Dan Sooyoung bersyukur akan itu.

Kecuali kalau bosnya yang sok tahu memutuskan untuk mengejarnya; yang memang dilakukannya sekarang ini…

“Kakimu cepat sekali,” ujar lelaki itu, berusaha mengendalikan napasnya.

…sialan!

“Apa yang kau lakukan di sini?!” Sooyoung nyaris tidak bisa mengatur suaranya. Kalimatnya barusan terdengar seperti suara yang keluar dari hidung—tinggi dan menyakiti telinga.

Sekarang, setelah berhadapan dengan Sooyoung sendiri, sulit untuk tidak merasa canggung. Agaknya Kyuhyun pun menyadarinya. “Aku uh, mengejarmu. Karena kau kelihatan seperti akan menangis tadi. Dan..” ia berhenti sebentar, berusaha mencari kata yang tepat.

“Dan?”

Tidak berhasil menemukan kata yang dibutuhkan, Kyuhyun memutuskan untuk mengubah pembicaraan. “Tapi kau kelihatan baik-baik saja sekarang.” ujarnya.

Sooyoung bersedekap, menyoroti Kyuhyun dengan alis yang naik sebelah, menantang Kyuhyun untuk mengatakan apa yang memang ia ingin katakan. Namun usahanya itu gagal karena—sepertinya—lelaki itu telah berhasil menguasai dirinya kembali. “Aku baik-baik saja dari tadi.” Katanya. “Dan apa maksudmu dengan akan menangis? Aku tidak pernah kelihatan seperti akan menangis.”

“Oh, well, mungkin aku salah melihatnya.” Tidak, Kyuhyun tahu perempuan di hadapannya ini tengah berbohong. Hanya saja, ia tidak tahu mengapa. “Sekarang setelah aku keluar, kenapa kita tidak pergi bersama? Kau akan pergi ke mana?”

Pengalih topik yang handal, Sooyoung berpikir sembari mengangguk, menyetujui ide bosnya untuk menghabiskan waktu bersama. “Apa kau tahu kafe yang menyediakan menu sarapan khusus di sekitar sini?”

Sebenarnya, Kyuhyun tidak tahu. Ia jarang keluar dari apartemennya. Mengeluyur di daerah tetangga bukanlah hal yang senang dilakoninya. Namun kali ini, entah mengapa, Kyuhyun tidak ingin mengakui itu, ia justru berbalik, menyoroti bangunan-bangunan kecil di sepanjang jalan dan menunjuk salah satu toko yang tidak terlalu ramai. “Itu dia. Kafe favoritku.” Katanya dengan kepercayaan diri meningkat perlahan-lahan.

Keduanya berjalan mendekati bangunan yang tadi ditunjuk Kyuhyun. Tidak ada yang membuka suara, hanya gema sol sandal yang bergesekan dengan aspal yang terdengar. Diam-diam, Kyuhyun menyukai ini. Sulit sekali menemukan seseorang yang tahu saat yang tepat untuk berbicara atau diam—biasanya, Kyuhyun harus mencari topik obrolan untuk mengisi suasana. Ia enggan mengakuinya, tapi Kyuhyun merasa Sooyoung adalah teman bicara yang lebih menyenangkan ketimbang Soojin. Dengan Sooyoung, ia tidak perlu merasa harus membangun suasana, ia hanya perlu mengikutinya saja, sesuka hatinya, sesuka Choi Sooyoung yang kini menatapnya dengan pandangan mencerca.

“Apa?” Tanya Kyuhyun, tidak memahami raut penuh arti yang disorotkan Sooyoung padanya. Tidak mendapat sahutan yang diinginkan, Kyuhyun melayangkan pandangannya pada keadaan sekitar—pada kafe yang tadi disebutnya sebagai “kafe favorit”; yang ternyata merupakan gudang dari pabrik lima meter dari tempat mereka berdiri. “Oh…”

“Kafe favorit, ya,” ujar Sooyoung dengan nada mengolok-olok. “Menarik.”

Sulit sekali menyembunyikan rona merah yang kini tengah membuat jalannya ke pipi Kyuhyun. Untuk menutupinya, Kyuhyun mengedikkan bahunya dengan gaya tidak peduli, “Aku yakin di sini tempatnya.” Katanya membela diri. “Well, mungkin sudah pindah.”

Setelah berputar-putar beberapa saat—dua menit tepatnya, Kyuhyun bisa memberitahu, mengingat ia selalu melirik jam tangannya setiap mereka berbelok dari lorong satu ke lorong yang lain—Sooyoung akhirnya berhenti di depan sebuah kafe kecil; sederhana tapi manis. Kelihatannya normal.

Ia menoleh ke arah Kyuhyun, “Kau mau masuk, tidak?” tanyanya, tidak menunggu jawaban, karena dirinya sendiri sudah menaiki tangga kecil di depan kafe. Kyuhyun mengikutinya, tentu saja.

“Kau mau duduk di mana?” tanya Sooyoung lagi, berhenti di depan pintu kafe, menunggu Kyuhyun sampai di sampingnya, memilih kursi. Sebenarnya, ia sudah memiliki bangku pilihan, satu yang berada di dekat jendela besar yang menghadap langsung ke lapangan kecil, namun—sebagai formalitas saja—ia menawari Kyuhyun untuk memberikan pendapat. Juga, diam-diam Sooyoung ingin mengetes selera bosnya itu.

“Di dekat jendela itu.” Kyuhyun menyahut, menatap mata asistennya yang tiba-tiba berbinar setelah mendengar jawabannya. Perempuan itu sudah telanjur meloncat ke bangku itu sebelum ia berhasil mengatakan, “apa?”.

Saat pesanan mereka telah datang—segelas susu cokelat yang baik untuk kesehatan, secangkir teh herbal yang masih mengepulkan asap, dan dua piring ceper berisi donat-donat bertabur gula dan muisjes—Kyuhyun terpaksa menelan kembali segala pertanyaannya mengenai adik lainnya dari keluarga Choi, terlalu terpesona dengan makanan di hadapannya. Plus, perutnya yang kosong meronta-ronta minta diisi.

“Aku tidak tahu kau suka donat,” gumam Sooyoung, mendongak sebentar untuk mendapati Kyuhyun tengah menjilati jarinya. “Mengandung kalori yang terlalu banyak untuk sarapan.” Ia menirukan pendapat Kyuhyun mengenai makanan-makanan manis waktu itu.

Kyuhyun tidak memedulikan sindiran Sooyoung. “Donat adalah pengecualian,”

Sooyoung menaikkan sebelah alisnya dengan gaya mengejek. “Well, aku punya pertanyaan untukmu.” Katanya, melirik sekilas ke tiga donat yang masih duduk tenang di piringnya. “Dan kau harus menjawabnya dengan jujur.”

“Apa ini?” Kyuhyun mengangkat kepalanya dengan dahi mengerut. “Interogasi?”

Ia berusaha menyembunyikan senyumannya—gagal. “Semacam itu,” aku Sooyoung. “Kau harus berjanji akan menjawabnya dengan jujur dan sungguh-sungguh.”

Meskipun bertanya-tanya, Kyuhyun toh akhirnya mengiyakan.

“Oke. Pertanyaan pertama—”

“Whoa, kau tidak bilang pertanyaanmu akan lebih dari satu,” sela Kyuhyun segera, tiba-tiba waspada akan serangan Sooyoung. Mungkin asistennya itu ingin membongkar sesuatu; brankas rahasia di apartemennya, mungkin?

“Jawab saja.” Cetus Sooyoung, dengan nada tidak sabaran. Bibirnya mengerut di satu sisi, membuat Kyuhyun akhirnya menyerah, melemparkan kedua tangannya di atas kepala. “Oke, pertanyaan pertama. Apa kau benar-benar menyukai Soojin seperti itu? Tipe suka yang membuatmu ingin menikahinya dan memiliki keturunan dengannya? Atau tipe di mana kau hanya ingin bersenang-senang?”

Pertanyaan yang sangat menjebak, namun tepat. Pertanyaan Sooyoung itulah yang membuatnya berpikir ulang tentang perasaannya—bagaimana tepatnya hatinya mengenai ini. Meskipun begitu, Kyuhyun tahu jelas bahwa dua tipe yang ditawarkan Sooyoung tidak benar-benar mewakili perasaannya pada Soojin. Tentu saja begitu, Kyuhyun berpikir kepada dirinya sendiri, ia dan Soojin toh baru bertemu beberapa saat yang lalu. Mungkin masih terlalu dini untuk menunjuk di mana tepatnya perasaan itu berada—sekedar teman, cinta sejati, atau kekasih main-main?

Pemikirannya buyar ketika Sooyoung menyodok bahunya dengan jari telunjuknya. “Hei,” sela perempuan itu. “Kau mau menjawabnya tidak?”

“Begini, aku baru berkenalan dengan kakakmu sekitar… uhm, empat minggu? Sebulan? Dan kau benar mengenai perasaanku, aku memang menyukainya—” Kyuhyun tidak bisa mengalihkan matanya dari perubahan ekspresi Sooyoung di hadapannya, dari sesuatu yang menekan ke arah kesurutan. “—tapi aku juga tidak tahu apa perasaanku akan bertahan, katakanlah, lima tahun ke depan.” Lanjutnya diplomatis.

“Kau tahu,” dengan ragu, Sooyoung memainkan sendok kecil dalam cangkir tehnya, mengaduknya ke kanan dan ke kiri, tanpa melihat ekspresi Kyuhyun. “Aku sering mendengar hal itu, dan aku sangat bosan mendengarnya.” Kemudian matanya yang hitam dan bulat tiba-tiba dipenuhi nyala api kemerahan. “Tak bisakah kau memutuskannya sekarang?! Apakah kau menyukainya jangka panjang atau untuk jangka pendek saja?!”

“Apa—”

“Benar.” Sooyoung menggumamkannya dengan lelah, kecewa, dan amarah. “Kalian laki-laki tidak bisa menentukan perasaanmu sendiri. Kau akan terus mengejarnya, membuat kemungkinan-kemungkinan tidak pasti yang menyedihkan, mengatakan kau cinta padanya—bullshit. Kau tidak bisa mencintai seseorang sebelum melihat segalanya tentang orang itu!” Lalu ia tampak malu karena ledakannya yang tiba-tiba. Tetap saja, rasa malunya tidak bisa menyingkirkan sakit hatinya.

“Sooyoung? Apa ada sesuatu tentang kakakmu yang tidak aku tahu?” Kyuhyun bertanya dengan hati-hati, memandang tepat ke mata Sooyoung yang mengilatkan kepedihan dan apapun itu—sialan, mengapa ia peduli? Mengapa ia mengkhawatirkan sosok di hadapannya kini, sosok yang terus-menerus melakukan hal-hal jahat pada kakaknya sendiri? Sialan, mengapa mata itu kelihatan begitu jujur, begitu murni, sekaligus kelam?

Mata Sooyoung berair. Ia nyaris bisa merasakan tangisan dalam tenggorokannya, meronta untuk dikeluarkan. Ia mengabaikannya sekali lagi. “Kau tahu, Cho Kyuhyun,” ia berucap dengan nada mengejek yang pahit, terlalu pahit. “Mungkin aku kedengaran seperti penyihir jahat di serial kartun, tapi..” ia berhenti sebentar untuk menarik napas. “Memang ada sesuatu, banyak sesuatu, yang tidak kau ketahui tentang Choi Soojin, dan nanti, kau akan tahu mengapa aku melakukan ini. Satu hal yang harus kutekankan padamu, adalah untuk tidak terlalu bersandar pada apa yang kaulihat, yang kaurasakanlah yang paling penting. Kakakku tidak layak untukmu, untuk siapapun, sebelum dia mengatakan apa sesungguhnya.” Menutup pidato pendeknya, Sooyoung bangkit dari kursinya—menyentakkan benda malang itu beberapa senti ke belakang dengan tidak terlalu mulus—lantas menghambur keluar dari kafe.

Namun, sebelum Sooyoung berhasil mencapai pintu, Kyuhyun lebih dulu berseru, “Apa ini ada hubungannya dengan adikmu?!”

Mendengar pertanyaan itu, Sooyoung menoleh, dengan amat sangat pelan, dan saat kepalanya matanya sempurna terarah pada mata Kyuhyun, Kyuhyun bisa melihat dengan jelas bulir air mata menuruni pipinya.

“Ya.” Sahut Sooyoung sebelum lenyap di belokan gang.

end of chapter seven.

ALOHAA! 😀

Tepat waktu kan aku ngepostnya lol pamer amat. Oke kayaknya sekarang aku gak bisa ngasih banyak footnote jadi ringkas aja ya. So I want to thank you for reading this chapter, for waiting the new chapter of Cindewhorella, because you mean so much to me. 🙂 In the last chapter, I got so much complain: “thor boring banget”, “thor chapter 1,2,3 menarik tapi jujur chapter ini bikin bosen”, “thor alurnya gak jelas konfliknya gak jelas”, and blah-diddy-blah-blah-blah, since I’m not a professional writer (not yet, amiin) those comments make me a little bit sad. 😦 I don’t blame you for writing your honest opinion on my fanfiction really! You’re so nice for giving me such a feedback, but yeah…

Gini my dearly friend, contoh ya, kamu baca novel, dan dalam novel itu pasti ada fase-fase di mana ceritanya dibangun, plotnya dibangun biar nanti sewaktu klimaks, semuanya jelas dan bisa bikin paham. Aku juga bikin gitu, karena jujur aku lebih seneng make alur yang lama dan agak diulur-ulur—mungkin cara aku deskripsiin karakter yang makan tempat? Lol idk—masalahnya, ada saat-saat di mana ceritanya bakal ngebosenin (atau mungkin aku aja yang belom bisa bikin fase itu menarik) gitu. Jadi aku mohon pengertiannya ya. Dan makasih banyak kalo kamu salah satu dari orang yang komentar “thor ngebosenin” yang masih baca ini. I appreciate your comment so much! ^_^

I dedicate this chapter to AMEL RYRIIS, simply because I like her comment so much! Thanks! ^_^

Oke ini tetep aja panjang tapi aku keburu-buru jadi bye bye! (Ini ngepost saat-saat mendesak lol, thank me later ok). 😀